Dalam perjalannya yang panjang Kota Banyumas nampak bagaikan kota tua yang terlupakan. Padahal kurang lebih 350 tahun tahun kota ini pernah menjadi pusat kekuasaan birokrasi paling penting di Lembah Serayu. Kini Kota Banyumas hanya berstatus kota kecamatan dengan dua belas desa. Tetapi sisa-sisa kebesaran masa lalu, masih bisa dilacak dari toponim nama kota dan desa yang mengelilingi Kota Banyumas.
Toponim Banyumas terbilang unik. Toponim banyumas adalah toponim Jawa yang dikelilingi desa dan kota dengan toponim Sunda. Karena itu menyingkap sejarah masa lalu Kota Banyumas akan sia-sia jika hanya mengandalkan tradisi Jawa Majapahit atau Mataram. Tradisi Sunda, khususnya Sunda Galuh Kawali harus disertakan jika ingin memperoleh perspektif masa lalu Banyumas yang lebih utuh, lengkap dan konprehensip.
Sampai akhir abad ke-14 M, daerah Lembah Serayu Banyumas masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Galuh Kawali dan Kerajaan Pajajaran Pakuan. Karena itu berbagai legenda dan tradisi lisan yang berkembang di Kota Banyumas, ada yang dapat dilacak asal-usulnya pada tradisi lisan dan tulis Kerajaan Galuh Kawali. Salah satu legenda rakyat Banyumas yang paling mendekati sejarah Kerajaan Galuh Kawali pada abadke 7 – 9 Masehi adalah Legenda Kadipaten Selarong.
Toponim selarong bisa ditafsirkan dari sudut bahasa Sunda maupun bahasa Jawa. Dan jika kedua penafsiran itu digabungkan akan mempertajam sejarah situs Banyumas pada saat terjadinya proses transisi dan akulturasi empat kebudayaan besar di Pulau Jawa yang berlangsung dikota Banyumas, yakni kebudayaan Hindu-Buddha, kebudayaan Islam, kebudayaan Jawa dan kebudayaan Sunda. Hasil pergulatan, tarik menarik kepentingan, dan penaklukan dalam proses akulturasi empat kebudayaan besar itu, terjadilah proses adaptasi, sinkretisasi, dan toleransi, sehingga proses transisi berjalan dengan tenang dan damai. Islam berhasil menaklukkan Hindu-Buddha, tetapi tradisi Hindu-Buddha tidak benar-benar lenyap.
Tradisi Hindu Buddha melakukan adaptasi sehingga terserap menjadi tradisi Islam yang dikenal dengan Islam Kejawen. Hal sebaliknya terjadi dalam proses transisi dari kebudayaan Sunda ke arah kebudayaan Jawa. Di Banyumas berjalan lambat. Kebudayaan Jawa hanya mampu mengungguli kebudayaan Sunda dalam bidang politik,kekuasaan dan bahasa secara bertahap. Hal yang sama terjadi di bidang kesenian dan kesusastraan. Kebudayaan Jawa berhasil meminggirkan kebudayaan Sunda dengan langkah terseok-seok.
Lengger, calung Banyumasan, sintren, dalang jemblung, dan permainan Nini Towong, merupakan ragam kesenian warisan Sunda Galuh Kawali yang masih bertahan di Banyumas dengan berbagai adaptasi dan modifikasi dengan kebudayaan Jawa. Di bidang toponim nama kota, bahkan tradisi Jawa, nyaris kalah dengan skor telak, karena hanya berhasil mengganti beberapa toponim Sunda menjadi Jawa. Tiga toponim Sunda yang berhasil diubah menjadi toponim Jawa, adalah taponim Kalibening, Dawuhan dan Banyumas!. Sedangkan toponim Sunda lainnya tetap kukuh gagal tergantikan dengan toponim Jawa. Nama-nama tempat di sekitar kota tua Banyumas, seperti Somagede, Sokawera, Kejawar, Pekunden, Karangkamal, Kebasen, Dawuan ( di jawakan jadi Dawuhan), Cindaga, Rawalo, dan lainnya lagi, merupakan toponim Sunda yang masih lestari hingga sekarang.
Dua versi legenda Kadipaten Selarong
Legenda kota Selarong dalam tradisi lisan Banyumas ada dua versi, sebagaimana tersebut di bawah ini :
- 1.Versi pertama , menceriterakan bahwa sebelum menjadi Kota Banyumas, nama kota itu adalah Selarong. Pada suatu ketika datang orang asing yang membuat resah masyarakat, sehingga ditangkap penguasa dan dijebloskan ke dalam penjara. Saat itu kota Selarong tengah ditimpa musibah kekeringan yang menyebabkan kota itu kesulitan air. Sungai Serayu menyusut drastis, sumur-sumur mengering, penduduk dengan susah payah menggali dasar sungai yang kering untuk membuat belik. Tapi ketika orang asing tadi dimasukkan ke dalam penjara, tiba-tiba datang awan gelap menaungi kota. Tak lama kemudian hujan deras mengguyur Kota Selarong. Saking gembiranya penduduk berlari-larian keluar sambil berteriak-teriak sahut menyahut. Ada yang berteriak,”banyu!”. Ada pula yang berteriak,”emas!”. Terbentuklah kosa kata banyumas, yang kemudian dijadikan pengganti nama Kota Selarong menjadi Kota Banyumas. Orang asing yang ditahan baru dilepaskan setelah situasi tenang. Setelah keluar dari tahanan, dia berjalan ke arah barat, menuju Padepokan Embah Glagah Amba. Di sana orang asing itu berguru kepada Mbah Glagah Amba, sampai meninggal dan dimakamkan di situ. Tentu saja yang berteriak-teriak tadi adalah orang Jawa. Banyu adalah bahasa Jawa. Nama Glagah Amba juga nama Jawa. Dengan demikian kisah versi pertama ini muncul setelah Kabupaten Banyumas terbentuk yang dipungut dari kisah yang lebih lama.
- 2.Versi kedua, menceriterakan bahwa wilayah itu termasuk ke dalam wilayah Kadipaten Selarong. Suatu ketika terjadi kemarau panjang yang menyebabkan terjadinya bencana kekeringan hebat. Sumber air yang ada nyaris kering, air sungai pun menyusut drastis. Ki Ajar Pamungkas, yang memimpin sebuah padepokan di dukuh Dawuan, menduga kekeringan itu akibat murka para dewa kepada penduduk Kadipaten Selarong. Karena itu Ki Ajar mengingatkan Sang Adipati agar bertapa di Lereng Gunung Slamet untuk mendapatkan pertolongan dewa. Setelah Sang Adipati bertapa, datanglah ke alun-alun Kadipaten Selarong, orang sakti yang bernama Ki Langlangjati. Orang sakti ini segera menancapkan tongkatnya di alun-alun Kota Selarong. Tak berapa lama kemudian hujan pun turun dengan derasnya. Bencana kekeringan yang menimpa Kadipaten Selarong pun berakhir. Ki Langlangjati, kemudian tinggal di Dawuan. Karena di Dawuan juga kesulitan air, dengan sendirinya Padepokan Ki Ajar Pamungkas mengalami kesulitan air. Dia pun menyerahkan padepokannya kepada Ki Langlangjati dan berguru kepadanya. Ki Langlangjati mengambil alih pimpinan padepokan. Untuk memenuhi air padepokan Ki Langlangjati menancapkan tongkatnya di halaman Padepokan, hingga terbentuklah sumber air bening yang dianggap suci. Ki Langlangjati merubah namanya menjadi Ki Ajar Gunung Padang. Sumber air bening itu disebut Sumber Tirthas.