5. Pangeran Surya / Pangeran Adipati Anom (Sultan Ageng Tirtayasa),
Sultan Banten V
Penobatan Pangeran Surya terjadi pada tanggal 10 Maret 1651. seperti
tanggal surat ucapan selamat Gubernur Kompeni Belanda Kepada Sultan. Untuk
memperlancar roda pemerintahan, sultan mengangkat beberapa orang untuk
membantu dirinya. Jabatan Patih Mangkubumi diserahkan kepada Pangeran
Mandura dengan wakilnya Tubagus Wiraatmaja, Sebagai Kadhi atau Hakim Agung
Negara diserahkan kepada Pangeran JayaSentika. Tapi Pangeran Jayasentika
tidak lama menjabat sebagai kadhi, beliau wafat dalam perjalanan menunaikan
ibadah haji, maka jabatan Kadhi diserahkan kepada Entol Kawista yang
kemudian dikenal dengan nama Faqih Najmudin. Faqih Najmudin adalah menantu
dari Sultan Abul Mafakhir yang menikah dengan Ratu Lor. Untuk mempermudah
pengawasan daerah kekuasaan, Sultan mengangkat beberapa Ponggawa atau
Nayaka. Mereka berada di bawah pengawasan dan tanggung jawab Mangkubumi.
Selain itu Mangkubumi juga mengawasi keadaan para prajurit kerajaan.
Senjata-senjata di tambah. Rumah para Senoptai diatur sedemikian rupa, agar
mudah mengontrol para prajurit.
Dalam pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa kedatangan, seorang ulama sufi
dari Bugis bernama Syech Yusuf yang kemudian menikah dengan anak Sultan
Ageng selain itu Syech Yusuf diangkat menjadi seorang Mufti di Kesultanan
Banten beliau pula yang membantu dan memimpin perang melawan Belanda.
Pangeran Surya yang kemudian bergelar Pangeran Ratu Ing Banten adalah
seorang ahli strategi perang. Hal ini sudah dibuktikannya sejak beliau
menjadi putera mahkota. beliau lah yang mengatur strategi perang gerilya
saat menyerbu belanda di Batavia.
Seperti juga kakeknya, Pangeran Surya pun tidak melepaskan dari
Kekhalifahan Islam di Makkah. hubungan ini keharusan untuk memperkuat
kekuatan umat Islam dalam menentang segala macam kesewenangan. Dari dari
Kekhalifahan pulalah Pangeran mendapatkan gelar Sultan ‘Abulfath
Abdulfattah. Dari hubungan ini Sultan mengharapkan bantuan dari Khalifah
untuk mengirimkan guru agama ke Banten.
Selain itu Sultan pun tidak setuju dengan pendudukan bangsa Asing atas
negaranya, dan untuk memperkuat pertahanan (terutama dari serbuan Belanda
di Batavia), sultan memperkuat pasukanya di Tangerang yang telah menjadi
benteng pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan Belanda. Dari
tangerang ini pulalah pada tahun 1652 Banten menyerbu Batavia. Melihat
situasi yang semakin memanas, pihak kompeni mengajukan usul perdamaian.
Namun sultan bertekad untuk menghapuskan para penjajah di bumi Nusantara,
sultan melihat berbagai kecurangan pada setiap perjanjian yang diajukan
oleh pihak Belanda, sehingga Sultan pun menolaknya. Pada tahun 1656 pasukan
Banten yang bermarkas di Angke dan Tangerang melakukan gerilya
besar-besaran. Perusakan dan sabotase yang dilakukan para prajurit Banten
banyak merugikan pihak Kompeni. Untuk menghadapi serangan Belanda yang
lebih besar, Sultan mempernaiki hubungan dengan Cirebon dana Mataram, bahkan
dari Inggris, Prancis dan Denmark, Sultan mendapat kemudahan memperoleh
senjata api untuk peperangan. Daerah kekuasaan Banten (Lampung, Bangka,
Solebar, Indragiri dan daerah lainnya) diminta mengirimkan prajuritnya
untuk bergabung dengan para prajurit yang berada di Surosowan. Rakyatpun
mendukung langkah Sultan untuk mengusir Penjajah. Mereka bertekad lebih
baik mati daripada berdamai dnegan penjajah. Sedangkan kompeni mempekuat
pasukkannya dengan prajurit-prajurit sewaan yang berasal dari Kalasi,
ternate, Bandan, kejawan, Melayu, Bali, Makasar dan Bugis.
Pada tanggal 29 April 1658 datang utusan Belanda ke Banten membawa surat
dari Gubernur Jendral Kompeni yang berisi rancangan perjanjian perdamaian,
namun Sultan kembali melihat kecurangan dibalik naskah perjanjian tersebut,
pihak kompeni hanya mengharapkan keuntungan sendiri tanpa memperhatikan
kepentingan rakyat Banten. Oleh karenanya pada tanggal 4 Mei 1658 Sultan
mengirimkan utusan ke Batavia untuk melakukan perubahan perjanjian. Namun
perubahan dari Sultan di tiolak oleh Belanda. Kompeni hanya menginginkan
Banten membeli rempah-rempah dari Belanda dan itupun harus ditambah pajak.
Penolakan tersebut membuat Sultan sadar, bahwa tidaklah mungkin ada
persesuaian pendapat antara dua musuh yang saling berbeda kepentingan. Maka
pada tanggal 11 Mei 1658 Sultan mengirim surat balasan yang menyatakan
bahwa “BANTEN dan KOMPENI TIDAK AKAN MUNGKIN BISA BERDAMAI .
Maka terjadilah pertempuran hebat di darat dan di laut. Pertempuran ini
berlangsung tanpa henti sejak bulan Juli 1658 hingga tanggal 10 juli 1659.
Selain di Tangerang, Sultan juga membuat kampung para prajurit di
Tirtayasa, bahkan akhirnya sultan pun menyuruh mendirikan istana di kampung
tersebut. Yang nantinya digunakan sebagai pusat kontrol kegiatan di
Tangerang dan Batavia disamping untuk tempat peristirahatan. Maka dengan
demikian Tirtayasa dijadikan penghubung antara Istana di Surosowan dengan
Benteng pertahanan di Tangerang. Hal ini akan mempersingat jalur komunikasi
sultan. Disamping jalan darat yang sudah ada, juga dibuat jalan laut yang
menghubungkan Surosowan-Tirtayasa-Tangerang. Maka dibuatlah saluran tembus
dari Pontang-Tanara-Sungai Untung Jawa menyusuri jalan darat – melalaui
sungai CIkande sampai pantai Pasiliyan. Saluran ini dibuat cukup besar,
hingga mampu dilewati kapal perang ukuran sedang. Saluran ini dibuat dari
tahun 1660 hingga sekitar tahun 1678. Selain di Tirtayasa Sultan pun
berusaha menyempurnakan dan memperbaiki keadaan didalam ibukota kerajaan.
Dengan bantuan beberapa ahli bangunan dari Portugis dan Belanda yang sudah
masuk Islam, diantaranya adalah Hendrik Lucasz Cardeel kemudian dikenal
dengan Pangeran Wiraguna diperbaikilah bangunan istana Surosowan. Benteng
istana diperkuat dengan diberi Bastion, disetiap penjuur mata angin dan
dilengkapi dengan 66 buah meriam yang diarahkan ke segala penjuru.
Demikian juga dengan sungai disekeliling benteng, Irigasi diperbaiki dan
diperluas jangkauannya, Sehingga areal sawah mendapat pengairan dengan
baik. Daerah yang tadinya kesulitan air menjadi subur. Padi dan tanaman
produksi lainnya sangat menunjang kemakmuran rakyat Banten. Produksi Merica
mecapai 3.375.000 pon pada tahun 1680-1780.
Ketika pasukan Sultan Ageng terdesak oleh Belanda mereka menyingkir ke
Tirtayasa kemudian dengan menyusuri sungai Ciujung ke selatan mereka sampai
di Sajira (Lebak). Dengan memakai tipu muslihat Belanda berhasil menangkap
Sultan Ageng kemudian dibawa ke Batavia dan beliau meninggal dalam tahanan
di Batavia. Sementara itu perjuangan dilanjutkan oleh Syech Yusuf beserta
anak-anak Sultan Ageng seperti P Purbaya, P Kulon, P Kidul, dll. Mereka
bergerak ke arah barat lebak dan menetap di Jasinga (Bogor), disini banyak
peniggalan laskar Banten. Dari Jasinga rombongan yang dipimpin Syech Yusuf,
mengitari gunung Salak ke daerah Jampang kemudian ke Padalarang dengan
tujuan Cirebon. Di Padalarang laskar Banten yang dipimpin Syech Yusuf
dicegat Belanda, terjadilah perang besar tapi Syech Yusuf dan rombongan
dapat meloloskan diri dengan mengitari Citarum ke selatan masuk ke hutan ,
Belanda tidak bias mengejar karena medan pegunungan yang sulit dilewati.
Syech Yusuf setelah sampai di Tasikmalaya melanjutkan ke Ciamis, di Ciamis
laskar Banten menetap cukup lama bahkan banyak diantara laskar Banten yang
menikah dan menjadi penduduk setempat menyiarkan agama Islam. Suatu saat
dating seorang berpakaikan Arab dan berbahasa melayu, orang itu sebetulnya
adalah seorang Belanda yang akan menangkap Syech Yusuf. Orang belanda itu
berpura-pura ingin berunding dengan Syech Yusuf tapi di dalam perjalanan
Syech Yusuf ditangkap beserta rombongannya kemudian dibawa ke Batavia dan
dibuang ke Srilanka selanjutnya ke Afrika Selatan dan wafat disana,
sementara sisa-sisa laskar Banten banyak menetap di daerah-daerah yang
pernah dilewatinya dan menyebarkan agama Islam seperti di Jasinga, Bogor,
Cianjur, Ciamis,