SAJARAH BANTEN 5

Bagikan postingan

Masa-masa Kehancuran Banten

Setelah ditangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa (14 Maret 1683 M), Sultan Ageng
Tirtayasa wafat pada tahun 1692. dengan restu kompeni diangkatlah Sultan
Haji sebagi Sultan Banten VI. Namun kedaulatan Kesultanan Banten sudahlah
tidak ada lagi. Apalagi dengan ditandatanganinya perjanjian antara kompeni
dengan Sultan Haji pada tanggal 17 April 1684 Perjanjian tersebut berisi
hal-hal yang merugikan kesultanan dan rakyat Banten. Sehingga lenyaplah
kejayaan dan kemajuan Banten, karena adanya monopoli dan penjajahan
Belanda.

Rakyat semakin menderita karena tingginya pajak yang harus mereka bayar.
Sehingga tidaklah mengherankan kalau pada saat itu banyak terjadi kerusuhan
dan pemberontakan, karena ketidakpuasan rakyat. Bahkan pernah terjadi
pembakaran hampir 2/3 bangunan-bangunan didalam kota. aaa

Untuk keperluan keamanan dan pertahanannya, pihak kompeni membangun benteng
disebelah utara dekat pasar Karangantu. Benteng tersebut diberinama
Speelwijk pada tahun 1682 dan kemudian disempurnakan pada tahun 1685.

Masa pemerintahan Sultan Haji dipenuhi dengan pemberontakan dan kekacauan
disegala bidang. Bahkan sebagian besar rakyat tidak mengakui dirinya
sebagai Sultan Banten. Sehingga kehidupan sultan selalu diliputi dengan
kegelisahan dan ketakutan Bagaimana pun juga sebagai manusia, ada rasa
sesal pada diri sultan atas perlakuan dirinya terhadp ayahya (Sultan Ageng
Tirtayasa) Tapi semuanya sudah terlanjur. Karena tekanan-tekanan itu
akhirnya beliau jatuh sakit hingga meninggalnya pada tahun 1687. Dari
permaisuri Sultan Haji mempunyai beberapa orang anak, diantaranya Pangeran
ratu dan PAngeran Adipati. Sedangakan menurut Babad Banten, Sultan Haji
memiliki 10 orang putera, yakni :

1. Pangeran Ratu (Sultan Abulfadl)

2. Pangeran Adipati (Sultan Muhammad Zainul Abidin)

3. Pangeran Muhammad thohir

4. Pangeran Fadhluddin

5. Pangeran Ja’farrudin

6. Pangeran Muhammad Alim

7. Ratu Rohimah

8. Ratu Hamimah

9. Pangeran Kesatrian

10. Ratu Mumbay (ratu Bombay)

Setelah wafatnya Sultan Haji, terjadilah perebutan kekuasaan diantara
puter-putera Sultan Haji. Setan Van Imhoff turun tangan masalah ini dapat
terselesaikan. Dengan diangkatnya Pangeran Ratu menjadi Sultan Banten VII
dengan gelar Sultan Abulfadhl Muhammad Yahya (1687-1690). Beliau ternyata
termasuk Sultan yang benci Belanda. Ditatanya kembali banten yang sudah
porak poranda itu. Namun baru tiga tahun, beliau jatuh sakit yang
mengakibtakan kematiannya. Jenazahnya dimakamkan disamping kanan makam
Sultan Hasanuddin di Pasarean.

karena Sultan Abul Fadhl tidak memiliki putera, maka kesultanan diserahkan
kepada adiknya Pangeran Adipati (1690-1733) dengan gelar Sultan Abul
Mahasin Muhammad Zainul Abidin atau Kang Sinuhun Ing Nagari Banten. Putera
Sultan yang sulung dibunuh orang, sehingga yang menggantikan posisinya
sebagai sultan Banten adalah putera keduanya yang kemudian bergelar
Pangeran Abulfathi Muhammad Shifa Zainul Arifin(1733-1747). Pada masa
pemerintahannya banyak terjadi pemberontakan oleh rakyat, karena
ketidakpuasan rakyat terhadap kompeni yang memberlakukan kerja rodi, tanam
paksa dan lainnya. Dalam pada itu dikeraton pun terjadi kekisruhan. Sultan
Zainul Arifin banyak dipengaruhi oleh isterinya (Ratu Syarifah fatimah).
Ratu begitu dekat dengan kompeni.

Sultan Zainul Arifin mengangkat Pangeran Gusti sebagai putera mahkota.
Penunjukan ini tidak disetujui oleh isterinya, Permaisuri menginginkan yang
menjadi putera mahkota adalah menantunya, yaitu Pangeran Syarif Abdullah.
Karena desakan oleh isterinya, sultan menyurun Pangeran Gusti pergi ke
Batavia. Tapi atas usulan Ratu Syarifah, Pangeran Gusti ditangkap dan
diasingkan ke Sailan oleh kompeni (1747). Sehingga diangkatlah Pangeran
Syarif Abdullah sebagai Putera mahkota, dengan persetujuan kompeni. Dan
atas fitnah isterinya pula, Sultan Zainul Arifin ditangkap kompeni karena
dianggap gila. Sebagai gantinya diangkatlah Pangeran Syarif Abdullah
sebagai Sultan banten dengan gelar Pangeran Syarifuddin Ratu Wakil pada
tahun 1750. tapi yang berkuasa sebetulnya adalah Ratu Fatimah.

Melihat hal ini rakyat merasa telah dihina dan dikhianati, maka rakyat pun
melakukan perlawanan bersenjata. Dipimpin oleh Ki Topo dan Ratu Buang
mereka menyerbu Surosowan. Pertempuranpun terjadi begitu hebat. Melihat hal
ini Gubernur Jendral Kompeni Mossel segera memerintahkan menangkap Ratu
Syarifah dan Sultan Syarifudin. Kemudian Belanda mengangkat Pangeran Arya
Adi Santika sebagai sultan Banten dengan gelar Sultan Abul Ma’ali Muhammad
Wasi’ Zainul Arifin Pada tahun 1752, dan Pangeran Gusti diangkat sebagi
putera mahkota. Enam bulan kemudian Sultan menyerahkan kekuasaannya kepada
putera mahkota, karena banyaknya perlawanan dari rakyat yang tidak suka
dengan perlakuan kompeni yang mendikte sultan. Pangeran Gusti diangkat
dengan gelar Sultan Abul Nasr Muhammad ‘Arif Zainul Asiqin (1753-1773).
setelah sultan wafat maka kekuasan diserahkan kepada putranya dengan gelar
Sultan Abul Mafakhir Muhammada Aliudin (1773-1799). Karena tidak memiliki
putera maka setelah wafat Sultan Aliudin, kekuasaan dipegang oleh adiknya
yang bernama Pangeran Muhiddin dengan gelar Sultan Abul Fath Muhammad
Muhiddin Zainal Shalihin (1799-1801). Pada tahun 1801 sultan dibunuh oleh
Tubagus Ali Seorang putera Sultan Aliudin. namun Tubagus Ali pun wafat
ditangan pengawal sultan. Selanjutnya kesultanan dipegang oleh Sultan
Abulnasr Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802). Pada Tahun 1802
Kesultanan dipegang oleh Sultan Wakil Pangeran Natawijaya yang kemudian
pada tahun 1803 Putera Sultan Abul Mafakhir Muhammad Aliudin dengan gelar
Sultan Agiluddin atau Sultan Aliyuddin II (1803-1808). Sultan inilah yang
berselisih paham dengan Herman Wiliam Daendels. (Q)

PENGHANCURAN ISTANA SUROSOWAN

Pada abad ke-18 VOC sedang mengalami kemunduran, sehingga dibutuhkan banyak
dana untuk membiaya operasionalnya, banyak hutang yang ditanggung oleh VOC.
Sehingga VOC menerapkan sistem kerja paksa/kerja rodi (Kerja tanpa diberi
upah) di tanah jajahan. Ditanah Banten kerja rodi diawalai dengan membuat
pangkalan angkatan laut di Ujung Kulon. untuk itu Daendlels memerintahkan
Sultan Banten (Sultan Aliyuddin II) untuk mengirimkan pekerja
sebanyak-banyaknya. Tapi karena daerahnya berawa-rawa, banyak pekerja yang
meninggal atau terserang penyakit malaria. Sehingga banyak diantara pekerja
yang kabur. Keadaan ini membuat Daedels murka dan menuduh Mangkubumi
Wargadiraja sebagai biang keladinya. Daendels meminta kepada Sultan untuk :

1. Mengirimkan 1000 pekerja rodi

2. Menyerahkan Patih Mangkubumi wargadiraja

3. Sultan harus memindahkan kesultanannya ke Anyer, karena di Surosowan
akan di bangun Benteng Belanda.

Permintaan itu tentu ditolak oleh sultan. Penolakan itu membuat murka
Daendels, maka dikirimnya pasukan dalam jumlah besar ke Banten dengan
dipimpin oleh Daendels sendiri. Sebagai peringatan kompeni mengutus
Komandeur Philip Pieter du Puy, namun dipintu gerbang istana utusan
tersebut dibunuh oleh rakyat Banten yang sudah benci kepada Belanda.
Tindakan ini dibalas oleh Daendels. Diserangnya Surosowan pada hari itu juga
21 Nopember 1808. Dengan penuh semangat rakyat Banten mempertahankan tanah
tercintanya. Namun Daendels dapat menguasai Surosowan. Sultan ditangkap lalu
dibuang ke Ambon. Sedangkan Mangkubumi dihukum pancung oleh kompeni.
Selanjutnya kompeni mengangkat Sultan Wakil Pangeran
Suramenggala(1808-1809) sebagai Sultan Banten. Namun sultan tidak memiliki
kuasa apa-apa. Dia hanya menjadi pegawai Belanda dengan gaji 15.000 real
setahun.

Tindakan kera Daendels membuat kebencian rakyat semakin memuncak. Banyak
terjadi perampokan kapal-kapal Belanda. Daendels mencuriga Sultan berada
dibalik segala kerusuhan. Oleh karena itu, bersama pasukannya Daendels
datang ke Banten. Sultan ditangkap dan dipenjarakan di Batavia, sedangkan
benteng dan istana Surosowan dihancurkan dan dibakar. Peristiwa tersebut
terjadi pada tahun (1809). Pada tahun itu pula mulai dilaksanakan proyek
pembuatan jalan dari Anyer sampai Panarukan, yang panjangnya kira-kira 1000
Km, proyek tersebut diselesaikan dalam tempo 1 tahun dengan banyak makan
beribu-ribu rakyat. Dan untuk melemahkan Banten, maka kompeni membagi
Banten kedalam tiga daerah, yang statusnya sama dengan kabupaten. Ketiga
daerah tersebut diawasi oleh seorang Landros. yang berkedudukan diserang.
Ketiga daerah tersebut adalah :

1. Banten Hulu dipimpin oleh Sultan Muhammad Syafiuddin (1809-1813) putera
Sultan Muhyiddin Zainul Shalihin, dengan kedudukan di Caringin.

2. Banten Hilir

3. Anyer

SILSILAH SULTAN BANTEN

SYARIF
HIDAYATULLAH – SUNAN GUNUNG JATI Berputera :

1. Ratu Ayu Pembayun.
4. Maulana Hasanuddin
2. Pangeran Pasarean
5. Pangeran Bratakelana
3. Pangeran Jaya Lelana
6. Ratu Wianon
7. Pangeran Turusmi

PANGERAN HASANUDDIN – PANEMBAHAN
SUROSOWAN(1552-1570) Berputera :

1. Ratu Pembayu 8. Ratu Keben
2. Pangeran Yusuf 9. Ratu Terpenter
3. Pangeran Arya Japara 10. Ratu Biru
4. Pangeran Suniararas 11. Ratu Ayu Arsanengah
5. Pangeran Pajajara 12. Pangeran Pajajaran Wado
6. Pangeran Pringgalaya 13. Tumenggung Wilatikta
7. Pangeran Sabrang LorPangeran 14. Ratu Ayu Kamudarage
15. Pangeran Sabrang Wetan

MAULANA
YUSUF PANEMBAHAN PAKALANGAN GEDE(1570-1580) Berputra :

1. Pangeran Arya Upapati 8. Ratu Rangga

2. Pangeran Arya Adikara 9. Ratu Ayu Wiyos

3. Pangeran Arya Mandalika 10. Ratu Manis

4. Pangeran Arya Ranamanggala 11. Pangeran Manduraraja

5. Pangeran Arya Seminingrat 12. Pangeran widara

6. Ratu Demang 13. Ratu Belimbing

7. Ratu Pecatanda 14. Maulana Muhammad

MAULANA
MUHAMMAD PANGERAN RATU ING BANTEN(1580-1596)Berputra :

1.
Pangeran Abdul Kadir

SULTAN
ABUL MAFAKHIR MAHMUD ‘ABDUL KADIR KENARI(1596-1651)Berputra :

1. Sultan ‘Abdul Maali Ahmad Kenari(Putra Mahkota) 19. Pangeran Arya
Wirasuta

2. Ratu Dewi 20. Ratu Gading20.

3. Ratu Ayu 21. Ratu Pandan

4. Pangeran Arya Banten 22. Pangeran Wirasmara

5. Ratu Mirah 23. Ratu Sandi

6. Pangeran Sudamanggala 24. Pangeran Arya Jayaningrat

7. Pangeran Ranamanggala 25. Ratu Citra

8. Ratu Belimbing 26. Pangeran Arya Adiwangsa

9. Ratu Gedong 27. Pangeran Arya Sutakusuma

10. Pangeran Arya Maduraja 28. Pangeran Arya Jayasantika

11. Pangeran Kidul 29. Ratu Hafsah

12. Ratu Dalem 30. Ratu Pojok

13. Ratu Lor 31. Ratu Pacar

14. Pangeran Seminingrat 32. Ratu Bangsal

15. Ratu Kidul 33. Ratu Salamah

16. Pangeran Arya Wiratmaka 34. Ratu Ratmala

17. Pangeran Arya Danuwangsa 35. Ratu Hasanah

18. Pangeran Arya Prabangsa 36. Ratu Husaerah

37. Ratu Kelumpuk

38. Ratu Jiput

39. Ratu Wuragil

PUTRA
MAHKOTA SULTAN ‘ABDUL MA’ALI AHMAD, Berputera:

1. Abul Fath Abdul Fattah 8. Pangeran Arya Kidul

2. Ratu Panenggak 9. Ratu Tinumpuk

3. Ratu Nengah 10. Ratu Inten

4. Pangeran Arya Elor 11. Pangeran Arya Dipanegara

5. Ratu Wijil 12. Pangeran Arya Ardikusuma

6. Ratu Puspita 13. Pangeran Arya Kulon

7. Pangeran Arya Ewaraja 14. Pangeran Arya Wetan

15. Ratu Ayu Ingalengkadipura

SULTAN
AGENG TIRTAYASA -‘ABUL FATH ‘ABDUL FATTAH(1651-1672)Berputra :

1. Sultan Haji 16. Tubagus Muhammad ‘Athif

2. Pangeran Arya ‘abdul ‘Alim 17. Tubagus Abdul

3. Pangeran Arya Ingayudadipura 18. Ratu Raja Mirah

4. Pangeran Arya Purbaya 19. Ratu Ayu

5. Pangeran Sugiri 20. Ratu Kidul

6. Tubagus Rajasuta 21. Ratu Marta

7. Tubagus Rajaputra 22. Ratu Adi

8. Tubagus Husaen 23. Ratu Ummu

9. Raden Mandaraka 24. Ratu Hadijah

10. Raden Saleh 25. Ratu Habibah

11. Raden Rum 26. Ratu Fatimah

12. Raden Mesir 27. Ratu Asyiqoh

13. Raden Muhammad 28. Ratu Nasibah

14. Raden Muhsin 29. Tubagus Kulon

15. Tubagus Wetan

SULTAN
ABU NASR ABDUL KAHHAR – SULTAN HAJI (1672-1687) Berputra :

1. Sultan Abdul Fadhl 6. Ratu Muhammad Alim

2. Sultan Abul Mahasin 7. Ratu Rohimah

3. Pangeran Muhammad Thahir 8. Ratu Hamimah

4. Pangeran Fadhludin 9. Pangeran Ksatrian

5. Pangeran Ja’farrudin 10. Ratu Mumbay (Ratu Bombay)

SULTAN
ABUDUL FADHL (1687-1690) Berputra :

– Tidak
Memiliki Putera

SULTAN
ABUL MAHASIN ZAINUL ABIDIN(1690-1733 ) Berputra :

1. Sultan Muhammad Syifa 31. Raden Putera

2. Sultan Muhammad Wasi’ 32. Ratu Halimah

3. Pangeran Yusuf 33. Tubagus Sahib

4. Pangeran Muhammad Shaleh 34. Ratu Sa’idah

5. Ratu Samiyah 35. Ratu Satijah

6. Ratu Komariyah 36. Ratu ‘Adawiyah

7. Pangeran Tumenggung 37. Tubagus Syarifuddin

8. Pangeran Ardikusuma 38. Ratu ‘Afiyah Ratnaningrat

9. Pangeran Anom Mohammad Nuh 39. Tubagus Jamil

10. Ratu Fatimah Putra 40. Tubagus Sa’jan

11. Ratu Badriyah 41. Tubagus Haji

12. Pangeran Manduranagara 42. Ratu Thoyibah

13. Pangeran Jaya Sentika 43. Ratu Khairiyah Kumudaningrat

14. Ratu Jabariyah 44. Pangeran Rajaningrat

15. Pangeran Abu Hassan 45. Tubagus Jahidi

16. Pangeran Dipati Banten 46. Tubagus Abdul Aziz

17. Pangeran Ariya 47. Pangeran Rajasantika

18. Raden Nasut 48. Tubagus Kalamudin

19. Raden Maksaruddin 49. Ratu SIti Sa’ban Kusumaningrat

20. Pangeran Dipakusuma 50. Tubagus Abunasir

21. Ratu Afifah 51. Raden Darmakusuma

22. Ratu Siti Adirah 52. Raden Hamid

23. Ratu Safiqoh 53. Ratu Sifah

24. Tubagus Wirakusuma 54. Ratu Minah

25. Tubagus Abdurrahman 55. Ratu ‘Azizah

26. Tubagus Mahaim 56. Ratu Sehah

27. Raden Rauf 57. Ratu Suba/Ruba

28. Tubagus Abdul Jalal 58. Tubagus Muhammad Said (Pg. Natabaya)

29. Ratu Hayati

30. Ratu Muhibbah

SULTAN
MUHAMMAD SYIFA’ ZAINUL ARIFIN (1733-1750) Berputra :

1.Sultan Muhammad ‘Arif 7. Ratu Sa’diyah

2. Ratu Ayu 8. Ratu Halimah

3. Tubagus Hasannudin 9. Tubagus Abu Khaer

4. Raden Raja Pangeran Rajasantika 10. Ratu Hayati

5. Pangeran Muhammad Rajasantika 11. Tubagus Muhammad Shaleh

6. Ratu ‘Afiyah
SULTAN SYARIFUDDIN ARTU WAKIL(1750-1752 )

– Tidak Berputera
SULTAN MUHAMMAD WASI’ ZAINUL ‘ALIMIN(1752-1753)

– Tidak Berputera

SULTAN
MUHAMMAD ‘ARIF ZAINUL ASYIKIN(1753-1773) Berputra :

1. Sultan Abul Mafakhir Muhammad Aliyudin 4. Pangeran Suralaya

2. Sultan Muhyiddin Zainusholiohin 5. Pangeran Suramanggala

3 . Pangeran Manggala

SULTAN ABUL MAFAKHIR MUHAMMAD ALIYUDDIN(1773-1799) Berputra :

1. Sultan Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin 5. Pangeran Musa

2. Sultan Agilludin (Sultan Aliyuddin II) 6. Pangeran Yali

3. Pangeran Darma 7. Pangeran Ahmad

4. Pangeran Muhammad Abbas

SULTAN
MUHYIDDIN ZAINUSHOLIHIN(1799-1801) Berputra :

1. Sultan Muhammad Shafiuddin

Sultan Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)

Sultan Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803)

Sultan Agilludin (Sultan Aliyuddin II) (1803-1808)

Sultan Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809)

Sultan Muhammad Syafiuddin (1809-1813)

Sultan Muhammad Rafiuddin (1813-1820)

GEGER CILEGON Peristiwa perlawanan yang mengesankan pada awal abad 19
adalah peristiwa Geger Cilegon, yang terjadi pada tanggal 9 Juli 1888.
Peristiwa tersebut dipimpin oleh para alim ulama. Diantaranya adalah : Haji
Abdul karim, Haji Tubagus Ismail, Haji Marjuki, dan Haji Wasid. Sepulangnya
Haji Abdul Karim dari Makkah, beliau banyak mengajarkan tarekat di
kampungnya, Lempuyang. Selain itu beliau juga menanamkan nasionalisme kepada
para pemuda untuk melawan para penjajah yang kafir.

Sementara itu KH. Wasid yang pernah belajar pada Syekh Nawawi Al Bantani
mengajarkan ilmunya di pesantrenya di Beji-Bojonegara. Bersama teman
seperjuangannya yakni : Haji Abdurrahman, Haji Akib, Haji Haris, Haji
Arsyad Thawil, Haji Arsyad Qashir dan Haji Ismail, mereka menyebarkan
pokok-pokok ajaran Islam ke masyarakat. Pada saat itu Banten sedang
dihadapi bencana besar. Setelah meletusnya Gunung Karakatau pada tahun 1883
yang merenggut 20.000 juta jiwa lebih, disusul dengan berjangkitnya wabah
penyakit hewan (1885) pada saat itu masyarakat banyak yang percaya pada
tahayul dan perdukunan. Di desa Lebak Kelapa terdapat satu pohon besar yang
sangat dipercaya oleh masyarakat memiliki keramat. Berkali-kali H. Wasid
memperingati masyarakat. Namun bagi masyarakat yang tidak mengerti agama,
fatwanya itu tidak diindahkan. H. Wasid tidak dapat membiarkan kemusrikan
berada didepan matanya. Bersama beberapa muridnya, beliau menebang pohon
besar tersebut. Kejadian inilah yang menyebabkan beliau dibawa ke
pengadilan (18 Nopember 1887), belaiu didenda 7,50 gulden. Hukuman tersebut
menyinggung rasa keagamaan dan harga diri murid-murid dan para
pendukungnya. Selain itu, penyebab terjadinya persitiwa berdarah, Geger
Cilegon adalah dihancurkannya menara langgar di desa Jombang Wetan atas
perintah Asisten Residen Goebel. Goebel menganggap menara tersebut
mengganggu ketenangan masyarakat, karena kerasnya suara. Selain itu Goebel
juga melarangang Shalawat, Tarhim dan Adzan dilakukan dengan suara yang
keras. Kelakuan kompeni yang keterlaluan membuat rakyat melakukan
pemberontakan.

Pada tanggal 7 Juli 1888, diadakan pertemuan di rumahnya Haji Akhia di
Jombang Wetan. Pertemuan tersebut untuk mematangkan rencana pemberontakan.
Pada pertemuan tersebut hadir beberapa ulama dari berbagai daerah.
Diantaranya adalah : Haji Said (Jaha), Haji Sapiudin (Leuwibeureum), Haji
Madani (Ciora), Haji Halim (Cibeber), Haji Mahmud (Terate Udik), Haji Iskak
(Saneja), Haji Muhammad Arsad (Penghulu Kepala di Serang) dan Haji Tb Kusen
(Penghulu Cilegon). Pada hari Senin tanggal 9 Juli 1888 diadakan serangan
umum. Dengan memekikan Takbir para ulama dan murid-muridnya menyerbu
beberapa tempat yang ada di Cilegon. Pada peristiwa tersebut Henri Francois
Dumas – juru tulis Kantor Asisten residen – dibunuh oleh Haji Tubagus
Ismail. Demikian pula Raden Purwadiningrat, Johan Hendrik Hubert Gubbels,
Mas Kramadireja dan Ulrich Bachet, mereka adalah orang-orang yang tidak
disenangi oleh masyarakat.Cilegon dapat dikuasio oleh para pejuang “Geger
Cilegon”. Tak lama kemudian datang 40 orang serdadu kompeni yang dipimpin
oleh Bartlemy. Terjadi pertempuran habet antara para pejuang dengan serdadu
kompeni. hingga akhirnya pemberontakan tersebut dapat dipatahkan. Haji
Wasid dihukum gantung. Sedangkan yang lainnya dihukum buang. Diantaranya
adalah Haji Abdurrahman dan Haji Akib dibuang ke Banda. Haji Haris ke
Bukittinggi Haji Arsyad thawil ke Gorontalo, Haji Arsyad Qashir ke Buton,
Haji Ismail ke flores, selainnya dibuang ke Tondano, Ternate, Kupang,
Manado, Ambon dan lain-lain. (Semua pemimpin yang dibuang berjumlah 94
orang).

sumber : yahoogroups

Comments are closed.